Jumat, 28 Oktober 2016

Analisa RSM (Response Surface Methodology)

Metode Permukaan Respon (Response Surface Methodology) atau yang biasa disebut (RSM) merupakan dasar pengujian linear antara variabel saling bebas dan respon pada pengujian yang pendek. RSM juga merupakan model gabungan dari teknik matematika dan statistika yang digunakan sebagai contoh model dan analisa yang menghasilkan beberapa variabel dan obyektifitas dari optimasi respon dan analisa oleh engineer (Montgomery, 2009). 

Metode respon permukaan adalah teknik yang digunakan untuk memodelkan hubungan antara variabel respon dan faktor perlakuan. Variabel faktor dapat disebut juga variabel independen dan dikontrol dalam eksperimen. Metode permukaan respon bertujuan untuk membantu peneliti dalam melakukan improvisasi untuk mendapatkan hasil optimum secara tepat dan efisiensi. Setelah daerah percobaan ditemukan, model respon dengan tingkat ketepatan lebih tinggi dapat digunakan untuk mendapatkan nilai variabel sebenarnya yang akan menghasilkan respon optimum. Dalam metode respon permukaan, solusi optimum dapat dipilih untuk kondisi maksimum, minimum, kondisi hasil yang paling diinginkan dan kondisi sepanjang batas atas dan bawah (Myere and Montgomery, 2002).
Pada metodologi permukaan respon, variabel X1, X2, ...., Xk dan diasumsikan sebagai variabel yang kontinyu, sedangkan respon didefinisikan sebagai variabel tak bebas Y yang merupakan variabel acak. Jika suatu hubungan matematika diketahui, maka formulasi tersebut dapat digunakan untuk menentukan kondisi operasi paling efisien. Secara umum, persamaan metode respon permukaan dapat di tuliskan sebagai Y = f(X1, X2, ....., Xk) (Montgomery, 2009). Menurut Gasperz (1995) kebanyakan metode permukaan respon menggunakan salah satu model polinomial dari fungsi Y = βo + β1X1 + β2X2 + .... + βkXk + є yang merupakan model polinomial ordo satu sebagai tahap awal, apabila terdapat kelengkungan dalam sistem, maka daapat dirumuskan dengan model polinomial ordo kedua dengan fungsi (Nwabueze, 2010):


k                         k
Y = βo +Ʃ βjXj + Ʃ Ʃ βijXiXj +Ʃ βjjXj2 + єi
j=1         i  <j=2        j=1


Dalam fungsi tersebut, Y adalah respon; Xi dan Xj adalah variabel; βo adalah koefisien konstan; βj, βjj, dan βij adalah koefisien interaksi linear, kuadrat dan istilah orde kedua, k adalah sejumlah faktor yang diteliti; dan  єi adalah kesalahan. Secara umum prosedur melakukan penelitian optimasi dengan Response Surface Methodology (RSM) (Nurmiah et al., 2013) yaitu :

1) Pembuatan rancangan formulasi dan respon berdasarkan desain eksperimen yang dipilih
2) Tahapan formulasi, yaitu melakukan proses penelitian sesuai kondisi formula yang sudah ditetapkan
3) Melakukan analisis respon
4) Melakukan optimasi dilanjutkan dengan verifikasi sebagai pembuktian terhadap prediksi nilai respon solusi formula optimum


Pada tahap analisis respon, setiap variabel respon dianalisa ANOVA satu per satu. Program akan menyarankan untuk memilih model ANOVA yang memiliki  tingkat tertinggi dan menghasilkan nilai signifikan ANOVA. Beberapa model ANOVA yang terdapat pada desain ini anatara lain : Linier, Quadratic, dan Cubic. Pemilihan model tersebut terjadi berdasarkan perhitungan menggunakan program DX 7.1.5 yaitu jumlah kuadrat dari urutan model (Sequential Model Sum Of Squares) dan ringkasan model statistik (Summary of Statstic). Pemilihan model berdasarkan jumlah kuadrat yaitu moddel yang terpilih berdasarkan pada nilai tertinggi derajat polinomial dengan syarat model diterima bernilai nyata terhadap respon apabila nilai P<5% dan model tersebut disarankan oleh program. Nilai P<5% menunjukkan bahwa peluang kesalahan model kurang dari 5% berarti model tersebut signifikan atau berpengaruh nyata terhadap respon.

Pemilihan kedua yaitu berdasarkan model statistik yaitu analisa perhitungan kesimpulan dari perhitungan sebelumnya. Model terpilih didasarkan pada nilai standar deviasi dan PRESS (Prediction Residuals Error Sum of Square) terendah. Semakin besar nilai standar deviasi maka menunjukkan bahwa data semakin bervariasi, sehingga apabila nilai standar deviasi semakin kecil maka tingkat keseragaman data semakin besar (Santoso, 2008). Sedangkan nilai press yang semakin kecil menunjukkan kesalahan data semakin kecil pula. Myers and Montgomery (2002), menyatakan bahwa penentuan model yang terbaik difokuskan pada nilai adjusted R2 dan predicted R2 yang maksimal. Hal ini dikarenakan semakin kecil nilai R2 menunjukkan semakin lemahnya hubungan antara variabel dependen dan independen (Nisfiannoor, 2009).  Menurut Nawari (2010), nilai R2 berkisar pada angka 0 sampai 1. Semakin mendekati nilai 1 maka pengaruh variabel peduga (Independent) terhadap varaibel tergantung (dependent) semakin kuat.

Model ANOVA yang dinyatakan signifikan dan lack of fit test yang tidak signifikan akan dipilih untuk menganalisa variabel. Dalam proses analisa juga terdapat kurva plot kenormalan residual (normal plot of residual) yang mengindikasikan apakah residual (selisih antara respon aktual dengan nilai respon yang diprediksikan) mengikuti garis kenormalan (garis lurus) pada model yang akan diberikan oleh program DX 7.1.5. Titik-titik data yang semakin mendekati garis kenormalan menunjukkan data menyebar normal, yang berati hasil aktual akan mendekati hasil yang diprediksikan oleh program (Kumari et al., 2008). 

Optimasi pada program akan dilakukan berdasarkan input data variabel dan data pengukuran respon. Output dari tahap optimasi berupa rekomendasi formula baru yang optimal menurut program. Formula dengan nilai desirability maksimum adalah formula yang paling optimal. Nilai desirability adalah nilai fungsi tujuan optimasi yang menunjukkan kemampuan program untuk memenuhi keinginan berdasarkan kriteria yang ditetapkan pada produk akhir. Nilai desirability berkisar dari 0-1,0 dimana semakin mendekati nilai 1,0 menunjukkan kemampuan program untuk menghasilkan produk yang dikehendaki semakin sempurna. Tahapan optimasi tidak bertujuan untuk memperoleh  nilai desirability 1,0 tetapi untuk mencari kondisi terbaik yang mempertemukan semua fungsi tujuan (Raissi and Farzani, 2009). Tahapan selanjutnya adalah tahapan verifikasi dilakukan dengan dua kali ulangan. Hasil yang diperoleh kemudian dibandingkan dengan nilai variabel respon yang diprediksi oleh RSM yang telah dilengkapi dengan prediksi nilai setiap respon sehingga dapat dilihat kesesuaiannya pada tahapan verfikasi (Anihouvi et al., 2011).

Teknologi Restrukturisasi Daging

Pada umumnya produk olahan yang berasal dari daging berkualitas rendah mengalami proses pengolahan terlebih dahulu seperti dicincang (misalnya daging giling, kornet, dan lain-lain) atau digunakan sebagai campuran pada masakan tertentu. Salah satu teknologi yang dapat digunakan untuk mengolah daging yang berkualitas rendah adalah melalui restrukturisasi. Teknologi restrukturisasi merupakan proses pembentukan kembali bagian sekunder karkas menjadi bentuk yang mempunyai nilai tambah, dengan nilai jual yang masih terjangkau dan mempunyai karakteristik menyerupai steak dan daging pada umumnya (Raharjo et al., 1994). Sebagian besar produk daging hasil restrukturisasi dibuat melalui ekstraksi protein daging dengan menggunakan garam, fosfat, dan manipulasi mekanis. Dimana dengan pemasakan secukupnya maka akan terbentuk matriks gelatinisasi yang terbentuk akibat pemanasan (Schmidt dan Trout, 1982 dalam Ruiz et al., 1993).

Restrukturisasi sebenarnya sudah umum digunakan untuk pengolahan daging di negara-negara Amerika. Pada tahun 1977 telah dilakukan processing terhadap 37% kalkun, 20% unggas dan 19% daging sapi (Anonimus, 2007). Proses ini pada dasarnya adalah menggabungkan keseluruhan bagian sekunder karkas (bagian leher, paha depan, dan bagian tetelan lainnya) yang kemudian diikat dengan membentuk satu kesatuan dengan bahan pengikatnya berupa aditif (non meat additive), pengemulsi daging, dan ekstraksi protein miofibrillar.

Terdapat 4 metode untuk proses restrukturisasi daging, antara lain dibuat flake/menyerupai keripik dan dibentuk (flaking dan forming), dicincang dan dibentuk (chunking dan forming), diiris tipis dan dibentuk (sectioning dan forming), dan kombinasi dari metode-metode tersebut (Yun-Chu, 2002). Sedangkan menurut (Raharjo et al., 1995) perlakuan mekanis untuk proses restrukturisasi antara lain dengan cara dicincang, diiris, disuwir, dicincang dan iris, ditumbuk, atau diiris dan ditumbuk.

Menurut Boles (2007), ikatan dalam produk daging restrukturisasi diperoleh melalui pembentukan gel panas dan dingin (heat and cold-set). Produk daging restrukturisasi konvensional tergantung pada ikatan karena panas (hot set) dari protein daging yang diekstraksi dengan kombinasi antara garam, fosfat, dan pengolahan mekanis. Sedangkan untuk produk (cold set) memungkinkan produk dipasarkan dalam bentuk mentah. Faktor produksi yang memengaruhi proses pengikatan pada proses restrukturisasi adalah garam dan fosfat, suhu, transglutaminase, gum (Yun-Chu, 2002), dan manipulasi mekanis (Ruiz et al., 1993).

Hasil penelitian menyebutkan bahwa penambahan garam memengaruhi daya ikat air (water holding capacity), daya regang (shear force), tekstur dan juiceness (Yun-Chu, 2002). Suhu dibutuhkan untuk mempertahankan kelarutan protein. Sedangkan penambahan transglutaminase akan mengikat sifat gel dari protein otot. Penambahan gum (misalnya alginat dan karagenan) yang dikombinasikan dengan ion kalsium akan meningkatkan daya ikat dan memudahkan untuk membentuk pada produk restrukturisasi.

Kandungan lemak dan jaringan ikat merupakan faktor penting dalam produk restrukturisasi. Kandungan lemak dan jaringan konektif yang tinggi akan menjadikan produk kurang menarik, sehingga sangat penting untuk mengurangi lemak dan jaringan pengikat, khususnya jika menggunakan daging dari paha depan dan leher (Boles, 2007).

Prinsip utama pengolahan restrukturisasi daging adalah terbentuknya matriks interaktif pada permukaan protein daging agar bagian daging terikat bersama, dimana protein miofibrillar alami yang biasa digunakan adalah garam. Selanjutnya yang dapat digunakan sebagai bahan tambahan bukan daging (non meat ingredient) antara lain putih telur, susu bubuk, sodium caseinat, isolat kedelai, konsentrat kedelai, atau sumber protein lainnya. (Anonimus, 2007).

Proses restrukturisasi daging memberikan keuntungan diantaranya adalah meningkatkan nilai jual, prosesnya mudah dan mudah dibentuk sesuai dengan keinginan, lebih ekonomis. Disamping itu, proses restrukturisasi memungkinkan untuk membuat bermacam-macam produk baru untuk berbagai pasar yang berbeda, misalnya nugget, ham, dan lain-lain. Karakteristik terpenting dari produk daging hasil restrukturisasi adalah produk tersebut masih tetap mempertahankan tekstur dari keseluruhan produk daging (Anonimus, 2007).

Permasalahan produk hasil restrukturisasi yaitu ketengikan yang diakibatkan oleh proses oksidasi, dan warna yang tidak seragam (Ruiz et al., 1993), terutama oleh jaringan ikat yang menyebabkan perbedaan warna dan menyebabkan produk menjadi keras dan terlalu berserat (Yun-Chu, 2002). Proses oksidasi yang mengakibatkan ketengikan dan off flavour dapat dihambat dan dicegah dengan nitrit, fosfat, asam askorbat, antioksidan lainnya. Permasalahan lain yang timbul adala pemasaran pada tingkat retail, karena produk hasil restrukturisasi pada umumnya dipasarkan dalam keadaan dalam keadaan beku sehingga diperlukan fasilitas pendingin untuk pemasarannya untuk mempertahankan integritas strukturnya (Ruiz et al., 1993), sehingga untuk produk segarnya konsumen akan kesulitan memperolehnya. Produk restrukturisasi umumnya dipasarkan pada bentuk setengah matang atau beku untuk mempertahankan integritas strukturnya, namun dengan penambahan alginat/ kalsium sebagai pengikat telah memungkinkan produk hasil restrukturisasi tersebut dijual dalam produk mentah. Sementara itu, produk restrukturisasi tidak memiliki masalah berarti dengan bakteri patogen, namun perlu menjadi perhatian juga kemungkinan adanya kontaminasi dengan beberapa bakteri diantaranya Salmonella, Campylobacter jejuni, Staphylococcus aureus, Clostridium perfringens, dan E. Coli O157:H7 ( Yun-Chu, 2002).