Jumat, 28 Oktober 2016

Teknologi Restrukturisasi Daging

Pada umumnya produk olahan yang berasal dari daging berkualitas rendah mengalami proses pengolahan terlebih dahulu seperti dicincang (misalnya daging giling, kornet, dan lain-lain) atau digunakan sebagai campuran pada masakan tertentu. Salah satu teknologi yang dapat digunakan untuk mengolah daging yang berkualitas rendah adalah melalui restrukturisasi. Teknologi restrukturisasi merupakan proses pembentukan kembali bagian sekunder karkas menjadi bentuk yang mempunyai nilai tambah, dengan nilai jual yang masih terjangkau dan mempunyai karakteristik menyerupai steak dan daging pada umumnya (Raharjo et al., 1994). Sebagian besar produk daging hasil restrukturisasi dibuat melalui ekstraksi protein daging dengan menggunakan garam, fosfat, dan manipulasi mekanis. Dimana dengan pemasakan secukupnya maka akan terbentuk matriks gelatinisasi yang terbentuk akibat pemanasan (Schmidt dan Trout, 1982 dalam Ruiz et al., 1993).

Restrukturisasi sebenarnya sudah umum digunakan untuk pengolahan daging di negara-negara Amerika. Pada tahun 1977 telah dilakukan processing terhadap 37% kalkun, 20% unggas dan 19% daging sapi (Anonimus, 2007). Proses ini pada dasarnya adalah menggabungkan keseluruhan bagian sekunder karkas (bagian leher, paha depan, dan bagian tetelan lainnya) yang kemudian diikat dengan membentuk satu kesatuan dengan bahan pengikatnya berupa aditif (non meat additive), pengemulsi daging, dan ekstraksi protein miofibrillar.

Terdapat 4 metode untuk proses restrukturisasi daging, antara lain dibuat flake/menyerupai keripik dan dibentuk (flaking dan forming), dicincang dan dibentuk (chunking dan forming), diiris tipis dan dibentuk (sectioning dan forming), dan kombinasi dari metode-metode tersebut (Yun-Chu, 2002). Sedangkan menurut (Raharjo et al., 1995) perlakuan mekanis untuk proses restrukturisasi antara lain dengan cara dicincang, diiris, disuwir, dicincang dan iris, ditumbuk, atau diiris dan ditumbuk.

Menurut Boles (2007), ikatan dalam produk daging restrukturisasi diperoleh melalui pembentukan gel panas dan dingin (heat and cold-set). Produk daging restrukturisasi konvensional tergantung pada ikatan karena panas (hot set) dari protein daging yang diekstraksi dengan kombinasi antara garam, fosfat, dan pengolahan mekanis. Sedangkan untuk produk (cold set) memungkinkan produk dipasarkan dalam bentuk mentah. Faktor produksi yang memengaruhi proses pengikatan pada proses restrukturisasi adalah garam dan fosfat, suhu, transglutaminase, gum (Yun-Chu, 2002), dan manipulasi mekanis (Ruiz et al., 1993).

Hasil penelitian menyebutkan bahwa penambahan garam memengaruhi daya ikat air (water holding capacity), daya regang (shear force), tekstur dan juiceness (Yun-Chu, 2002). Suhu dibutuhkan untuk mempertahankan kelarutan protein. Sedangkan penambahan transglutaminase akan mengikat sifat gel dari protein otot. Penambahan gum (misalnya alginat dan karagenan) yang dikombinasikan dengan ion kalsium akan meningkatkan daya ikat dan memudahkan untuk membentuk pada produk restrukturisasi.

Kandungan lemak dan jaringan ikat merupakan faktor penting dalam produk restrukturisasi. Kandungan lemak dan jaringan konektif yang tinggi akan menjadikan produk kurang menarik, sehingga sangat penting untuk mengurangi lemak dan jaringan pengikat, khususnya jika menggunakan daging dari paha depan dan leher (Boles, 2007).

Prinsip utama pengolahan restrukturisasi daging adalah terbentuknya matriks interaktif pada permukaan protein daging agar bagian daging terikat bersama, dimana protein miofibrillar alami yang biasa digunakan adalah garam. Selanjutnya yang dapat digunakan sebagai bahan tambahan bukan daging (non meat ingredient) antara lain putih telur, susu bubuk, sodium caseinat, isolat kedelai, konsentrat kedelai, atau sumber protein lainnya. (Anonimus, 2007).

Proses restrukturisasi daging memberikan keuntungan diantaranya adalah meningkatkan nilai jual, prosesnya mudah dan mudah dibentuk sesuai dengan keinginan, lebih ekonomis. Disamping itu, proses restrukturisasi memungkinkan untuk membuat bermacam-macam produk baru untuk berbagai pasar yang berbeda, misalnya nugget, ham, dan lain-lain. Karakteristik terpenting dari produk daging hasil restrukturisasi adalah produk tersebut masih tetap mempertahankan tekstur dari keseluruhan produk daging (Anonimus, 2007).

Permasalahan produk hasil restrukturisasi yaitu ketengikan yang diakibatkan oleh proses oksidasi, dan warna yang tidak seragam (Ruiz et al., 1993), terutama oleh jaringan ikat yang menyebabkan perbedaan warna dan menyebabkan produk menjadi keras dan terlalu berserat (Yun-Chu, 2002). Proses oksidasi yang mengakibatkan ketengikan dan off flavour dapat dihambat dan dicegah dengan nitrit, fosfat, asam askorbat, antioksidan lainnya. Permasalahan lain yang timbul adala pemasaran pada tingkat retail, karena produk hasil restrukturisasi pada umumnya dipasarkan dalam keadaan dalam keadaan beku sehingga diperlukan fasilitas pendingin untuk pemasarannya untuk mempertahankan integritas strukturnya (Ruiz et al., 1993), sehingga untuk produk segarnya konsumen akan kesulitan memperolehnya. Produk restrukturisasi umumnya dipasarkan pada bentuk setengah matang atau beku untuk mempertahankan integritas strukturnya, namun dengan penambahan alginat/ kalsium sebagai pengikat telah memungkinkan produk hasil restrukturisasi tersebut dijual dalam produk mentah. Sementara itu, produk restrukturisasi tidak memiliki masalah berarti dengan bakteri patogen, namun perlu menjadi perhatian juga kemungkinan adanya kontaminasi dengan beberapa bakteri diantaranya Salmonella, Campylobacter jejuni, Staphylococcus aureus, Clostridium perfringens, dan E. Coli O157:H7 ( Yun-Chu, 2002).

4 komentar:

Linda mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Linda mengatakan...

Terima Kasih, Artikelnya sangat Membantu saya. God bless, dan terus berkarya 👍👍

Chorie's blog mengatakan...

Terimakasih, semoga bisa sedikit membantu kak linda. Semangat berkarya 😊

wisatailmu mengatakan...

Artikel yang menarik, yuk kunjungi Jurnal TeknikUnimuda SorongUnimuda Sorong